Kamis, 06 November 2014

Sisilia

Sisilia Walela. 11 September 1997. Kelas 5 SD INP Isaima
#SM3T - Nurmiati, S. Pd
#SD Inpres Isaima

"Sisilia sering bantu mama?"
Aku tersentak. Pertanyaan ibu guru tentang kehidupan sehari-hari kami memang sering terlontar begitu saja. Tapi, aku tak tau harus menjawab apa. Aku takut ibu guru marah nanti.

"Sisilia melamun?"
Suara ibu guru terdengar lagi, suara tak marah itu membuatku bersalah. Ibu guru tak menatapku, ibu guru sibuk memeriksa tugas kami. Teman-teman menatapku lalu sibuk membaca buku masing-masing lagi. Aku masih diam.

"Kalian boleh bantu mama tidak?"

"Boleh kata ibu guru, tapi harus izin dulu." Jawab murid lain.

"Iya. Tapi sisilia punya Alpa sudah 7. Bagaimana ini?"

"Ibu guru saya berapa?" Tanya Tresia, aku masih diam memikirkan pertanyaan ibu guru.

"Nanti saya bacakan hasil absen bulan lalu. Sekarang, ibu mau tanya Sisilia dulu." ibu guru belum mengangkat kepala, belum memalingkan tatapannya dari tumpukan buku kami.

"Sisilia, boleh duduk samping ibu guru? Yang lain lanjutkan membaca. Baca keras tidak papa, melatih mengucapkan dengan benar toh. Saling belajar teman sebangku tidak apa. Bergantian, saling mengoreksi yang lancar dan tidak."

Teman-temanku sibuk lagi, aku melangkah mendekat, ibu guru geser sedikit. Kali ini ibu guru menatapku tersenyum. Aku semakin gugup tapi sekejap aku mudah menjawab semua pertanyaannya.

Seperti biasanya, ibu guru hanya mampu menasehati kami, ibu guru bilang ia tidak memaksa kami untuk harus dan harus bersekolah, katanya masa depan kami hanya kami yang menentukan bukan ibu guru atau orang lain yang menyuruh ini dan itu. Hanya saja, saat menatapnya aku sadar ibu guru berharap padaku.

Ibu guru tak pernah mengatakan kami bodoh atau tak pintar. Ibu guru hanya bilang, semua anak di dunia ini pintar hanya yang membedakan seberapa dia punya kesempatan dan seberapa kuat usaha mereka untuk pintar. Tapi, aku? Di kelas akulah yang paling besar tapi membaca saja aku belum lancar. Sebenarnya aku malu dan selalu ingin sekolah. Keadaan memaksaku absen. Ku harap ibu guru memaklumi, aku janji untuk lebih rajin lagi. Aku sudah ketinggalan banyak pelajaran.

***
Hari ini, ibu guru memujiku. Dia senang karena aku sudah bisa membaca, meskipun sesekali salah menyebut huruf j dengan y. Ah, ini kebiasaan kami anak-anak papua membuat sulit berubah. Bangganya aku punya ibu guru yang berbeda dari guru-guru di sini, ibu tak habis akal melatih kami menyebutka huruf dengan benar.

Aku dan teman-teman sekarang semakin rajin ke sekolah. Jika dulu kami akan masuk kelas tak tentu, kadang pukul 9 atau lewat, bahkan tak belajar sama sekali, selama lebih sebulan ini kami teratur masuk pukul 8. Bahkan teman-teman ada yang datang pukul 7.

Datang lebih pagi, menyapu dan merapikan kelas, berbaris sesuai kelas, dan saling mengingatkan dengan teman tentang kerapian pakaian dan kebersihan kuku menjadi hal biasa.

Kata ibu guru, dia senang. Aku tau itu, ibu guru memang sering senyum dan sekarang semakin sering.

***
Dari jauh ku perhatikan ibu guru yang duduk di ruang tamu di dekat jendela, di rumah tinggalnya dekat sekolah.

Apa ibu guru melamun? Tak seperti biasanya, tersenyum menatap ke arah sekolah. Hari ini, ibu guru sepertinya sedih.

Kami berlari memasuki ruangan, ibu guru datang dengan langkah lemasnya.

"Tidak ada bel dari tadi?"
Tanya ibu guru melewati pintu. Memang tak ada. Kami berdoa dan memberi salam pada ibu guru. Tapi suara ibu guru pelan, tak seperti biasanya.

Hari ini kelas damai tentram. Tak ada nyanyian, permainan, dan suara lantang ibu guru.

"Ibu guru, sakit?" Tanya temanku, Kelena.

"Tidak. Ibu hanya belum sarapan. Jadinya lemas. Seperti belajaran IPA kita kemarin kan? Kalau tidak makan tidak akan punya tenaga." Kami tau ibu guru berbohong, ibu guru ingin terus mengawasi kami belajar dan memastikan kami tak berlari-lari mainan di luar kelas.

Ibu guru menyuruh kami membaca apa saja semaunya, di halaman mana saja di buku bahasa, lalu bergantian menceritakan apa yang kami baca. Mekipun ada yang hanya membaca dua kalimat saja selama setengah jam, ibu guru tak protes apa lagi marah. Setelah pelajaran bahasa, kami belajar Matematika.

"Sudah selesai?"

"Sudah."

"Belum."

"Yang sudah kumpulkan!" Aku dan beberapa teman mengumpulkan buku. Yang lain menyusul setelah selesai.

"Ada yang mau maju duluan? Ibu tidak mau tunjuk-tunjuk." Aku mau maju tapi tak berani. Teman-temanku juga tak ada yang mau bergerak.

"Tidak ada yang mau? Ya sudah ambil kembali bukunya lalu kalian tak punya nilai. Mau?"

"Saya saja ibu guru." Irwan mengangkat tangan, setelahnya kami semua bergantian.

Payah. Aku tak hapal perkalian 7. Mengapa ibu guru malah senyum padaku? Aku jadi merasa bersalah.

***
"Selamat... Siang... Ibu... Guru... Nurmi."

"Siang. Selamat pulang dan hati-hati."

"Ibu guru hari ini tidak usah les ya?" Kata Paska. Kami sudah menyepati saat ibu guru tadi keluar kelas sebentar.

"Kenapa?"

"Ibu guru sakit. Jadi, boleh istirahat biar besok bisa mengajar kami lagi." Jawabku jujur.

"Tapi, ibu guru tidak papa. Masih kuat, ini masih bisa berdiri dan jalan."

"Ah, ibu guru. Tidak boleh, ibu guru sakit." Aku sedikit memaksa agar ibu guru setuju.

Semenjak ibu guru datang, baru kali ini aku melihat wajahnya pucat, lemas tak bersemangat. Kata teman-teman kasihan, dan kami sedih. Kami memaksa sepulang sekolah membantu menimbah air bersih untuk ibu guru.

Aku juga berkata pada ibu guru, aku tidak akan malas (bolos) ke sekolah lagi. Teman-teman juga.
---

Ungkapan :

Aduh, murid-muridku perhatian sekali. . . Gak nyangka sebenarnya kalau perkembangan sikap mereka cepat berubah. Tapi, aku suka mereka yang sekarang. Rajin, lebih sopan, rapi dan ingin belajar banyak hal, tidak pemalu lagi, tentunya memiliki kesadaran yang tinggi. He he he


---
FB Nurmie

Tidak ada komentar:

Posting Komentar