Kamis, 06 November 2014

Cita-citaku

Hasil karya siswa kelas lima, 20 Sep 2014. Kini cita-cita mereka banyak yang berubah.

#SM3T- Nurmiati, S. Pd



SD Inpres Isaima (Jayawijaya)
20 September 2014

"Cita-citaku"




----
Kemarin aku tidak masuk sekolah, kuharap ibu guru mengerti karena aku sempat menitipkan surat kepada Paska si ketua kelas kami. Meskipun aku tau ibu guru marah ataupun tidak tetap akan tersenyum, aku merasa dek-dekan hari ini. Alpaku sudah tiga, apa mungkin ibu guru menerima surat itu? Pagi ini ku lawan rasa raguku dan melangkah bersama teman memasuki ruang kelas.

Hari sabtu lalu kami disuruh membawa daun pisang kering, karena latihan upacara, akhurnya tidak digunakan. Meskipun latihan upacara itu penting dan pertama kalinya sejak sekolah kami dibangun, tetap saja aku kesal. Ah, aku sedikit kecewa, aku mengguntingnya lalu membuangnya meskipun ibu guru meminta maaf dan menyuruh kami menyimpannya baik-baik. Aku menyesal, ternyata ibu guru menemukan daun itu di dekat pagar sekolah dan kecewa, aku menyesal tapi tak tau bagaimana memberitahunya. Bahkan saat ibu guru sedikit membahas hal itu di hari senin, aku tak berani mengakui bahwa itu milikku.

Pagi ini minggu kedua kami, kelas 5 tak disuruh oleh bapak guru untuk membawa alat-alat kerja bakti seperti parang, sekop untuk kerja kebun. Senang rasanya jika lebih bersama ibu guru belajar sesuatu dari pada selalu kerja bakti lalu pulang.

Ibu guru sudah 20 hari berada di sini, Isaima. Oia, perkenalkan namaku Feras Walela, murid pindahan dari Wosi--tempatku tinggal. Aku sangat senang karena ibu guru mengajarkan kami banyak hal, meskipun aku termaksud anak yang kurang pintar serta lambat dalam belajar, ibu guru tak pernah memarahiku, jika ibu guru mulai bersuara sangat keras itu berarti beliau sedang menjalankan strategi agar kami berubah, aku dan teman-teman mulai paham akan hal itu. Aku akan belajar lebih keras lagi, berusaha lebih rajin lagi. 

Pagi ini, aku kembali membawa daun kering dan gunting. Kata ibu guru, perlengkapan lain akan beliau bawakan. Pagi ini teman-teman lengkap, 17 siswa denganku. Setelah berdoa, yel-yel, tepuk pramuka, lagu daerah, lagu nasional, kami mulai mengeluarkan bahan yang dibutuhkan.Kurasa aku hanya menggunakan pensil lalu mewarnainya, aku tak punya pulpen.

Saat akan menuliskan cita-citaku, aku dilema. Hari pertama ibu mengajar waktu itu aku menjawab, aku ingin menjadi bapak camat. Sekarang entah mengapa aku malah ingin menjadi seorang Polisi. Lama berpikir membuat ibu guru menyadari situasiku.

"Feras? Sudah selesai? Ibu guru boleh lihat?" Ibu guru yang semula berdiri di ujung meja dekat pintu memperhatikan pekerjaan Fina, kini berjalan santai ke arahku, jendela di dekatku membuat seluruh ruangan terlihat jelas. Aku menutup mulutku rapat-rapat bahkan mengigit bibirku dan mataku berkedip-kedip tak jelas, kata ibu guru waktu itu, aku sepertinya takut padanya padahal aku bukan takut tapi tidak percaya diri dan malu akan kemampuanku.

"Bagus. Kenapa harus ditutup Feras? Tidak mau ibu melihat?" Ibu guru bertanya lagi, kali ini dia berdiri tepat di depan mejaku. Aku bukan anak yang pemberani, bahkan aku langsung menunduk saat bertemu tatap dengan ibu guru. Dan, entah mengapa ibu guru senang sekali dengan mataku--katanya, aku senang tapi ada perasaan tak pantas yang mengangguku.

"Feras mau tulis Polisi, boleh tidak ibu guru?" Suara Paska di sebelahku semakin membungkamku, terima kasih ucapku dalam hati.

"Tentu saja boleh. Tidak ada yang melarang toh? Seperti yang kalian tau, ibu guru juga dulu tidak dari awal ingin menjadi seorang guru." Ibu guru tersenyum, suasana kelas lebih ramai dari sebelumnya. Gunting, pewarna, lem, kertas putih, daun kering, pulpen dan pensil ke sana sini. Kelas jadi banyak sampah kertas dan daun kering. Ku pikir nanti ibu guru akan menegur ternyata tidak.

"Sudah? Boleh kumpul jika sudah?" Ibu guru bertepuk dua kali untuk meperoleh perhatian sebelum berbicara.

"Belum..." Kata Teresia.

"Belum..." Sambung yang lain.

"Okey. Lima menit lagi ya!" Ibu guru sibuk berkeliling mendatangi meja-meja kami yang tersusun U. Sesekali ibu guru memberi saran dan bertanya tentang sesuatu pada kami. 

Aku menjadi murid ke 5 yang mengumpulkan. Pelan-pelan ku letakkan milikku di bagian paling bawah. Ibu guru tertawa, aku heran dan terdiam di depan mejanya hingga tawanya berhenti.

"Feras? Kenapa harus di taruh paling bawah?"

Aku tak tau kenapa aku harus menaruhnya dibawah padahal yang lain menyusun keatas sesuai urutan pengumpulan. Aku tak menjawab.

"Feras? Kenapa mau jadi Polisi?"

Aduh. Aku tak punya alasan yang jelas dan pasti, tapi ibu guru menanti jawaban dan mungkin aku tak akan segera duduk jika ibu tak mendapat jawaban.

"Karena mau jadi Polisi bu guru."

"Haha, iyo. Kenapa Polisi bukan dokter atau pilot atau yang lain kah?"

Bukannya menjawab, aku malah menoleh pada teman-temanku yang sibuk.

"Tidak tau bu guru." Daripada aku sibuk berpikir tapi tak menemukan alasan, aku menyerah saja.

"Tidak apa Feras. Silahkan duduk, maaf ya, ibu hanya ingin tau."

Aku kembali duduk, terdiam sebentar, ketika aku ingin mencuri kesempatan mencari jawaban dengan melihat ibu guru, ternyata ibu guru memperhatikanku. Ah, sial! Aku jadi salah tingkah, kenapa ibu malah tersenyum padaku. Aku tidak membalas senyum ibu guru, malah kembali berbaur dengan yang lain yang sibuk melumuri lem miliknya.

"1 2 3 ..." Ibu guru mulai berhitung. Hitungan ke 10 harus terkumpul semua, jika tidak ibu guru tidak akan menerima. Bagi ibu guru, menjadikan kelas ramai adalah hal menyenangkan, teman-temanku berlarian mengumpul.

Ibu guru menghitung jumlah lembaran di depannya. Pas. Ibu guru menyebutkan nama pemilik, satu persatu kami maju mengambil dan membacakan di depan. Nama dan cita-cita kami. Ah, kenapa harus menjelaskan alasan cita-cita kami, aku masih belum tau sampai detik ini aku berdiri lurus dengan ibu guru yang menanti jawabanku.

"Alasan aku ingin menjadi Polisi,"

"Feras boleh duduk."

Hah? Ibu guru tak ingin mendengarkan alasanku atau tak ingin membuatku malu dengan teman-temanku, atau justru ini rencana ibu guru menyuruhku maju paling akhir.

"Sepi sekali! Dua kali tepuk pramuka." Ibu guru mengalihkan suasana kelas setelah aku duduk kembali.

"Yel-yel" Perintah ibu guru lagi.

"Good Job... Good job.. Good job... GOOD JOB!" Suara tepuk tangan serta gerakan yel-yel dan teriakan semangat terdengar keras.

"Terima kasih. Kalian senang?"

"Senang..." Yah, itu jujur dari kami. Ini Sabtu pertama kami berada di dalam kelas.

"Ibu guru juga senang. Lebih senang jika suatu saat cita-cita kalian tercapai, ibu akan menjadi orang paling senang dan paling bersyukur pernah mengajar kalian." Ibu guru menarik napas pelan dan kembali berbicara.

"Kalian masih ingat tidak cerita ibu guru seminggu lalu saat pelajaran bebas? Lupa cerita tidak apa tapi jangan lupa pesannya ya!" 

Kami masih terdiam, aku paling suka jika ibu guru banyak bercerita, berbicara ini dan itu, aku seperti berada di tempat itu sedang mengalami hal itu. 

"Untuk berhasil kita harus apa?"

"Berusaha..." Serentak kami.

"Apa lagi?"

"Berdoa..."

"Apa lagi?"

"Belajar..."

"Belajar apa?"

"Semuanya..."

"Contohnya apa?"

"Disiplin... Sopan... Bersih..."

"Disiplin bagaimana?"

"Pagi-pagi kesekolah, baju masuk ke rok ibu guru, mengerjakan tugas, dan tidak ribut saat teman belajar."

"Haha, kalau sopan itu bagaimana?" Aku tidak mengerti kenapa ibu guru tertawa.

"Tidak melawan mama-bapak, ibu guru, bapak guru, dan berbica baik tidak berteriak." Jawab Irwan, entah mengapa aku diam saja.

"Nah, kalau bersih itu bagimana?"

"Mandi..." Serentak kami lagi.

"Mandi berapa kali?"

"2x ibu guru."

"Angka sebelas di bawah hidup adakah tidak?"

"Tidak ada. Baju harus cuci juga buguru."

"Iyo, betul itu Mepia. Kuku juga tidak panjang dan banyak tanah. Lalu apa lagi yang kita lakukan agar berhasil?"

"Jadi pintar bu guru." Hanya Makda yang menjawab.

"Betul? Yang lain setuju tidak?"

"Benar ibu guru."

"Feras? Biar pintar kita harus apa?"

"Belajar." Jawabku cepat, ibu guru terlihat senang.

"Cita-cita kalian akan tercapai. Ibu yakin. Tapi seperti yang sering ibu beritahukan pada kalian. Jangan pernah menyerah, terus belajar dan jadilah anak yang pintar. Belajar dan belajar. Kalau teman kalian bisa kenapa kalian tidak? Kalau mereka yang jauh di sana bisa jadi dokter, polisi, bapak bupati, dan kemana-mana melihat indahnya dunia, kenapa kalian tidak bisa? Iya toh?"

Kami diam. Sesungguhnya aku ingin berteriak 'iya ibu guru' tapi kutahan.

"Ibu ingin kalian nanti meneruskan ke SMP lalu ke SMA dan Kuliah. Mungkin kalian merasa ibu guru membosankan, mengajar kalian seperti mengajar anak kelas 3. Tapi, ibu tetap senang. Merasa tidak kalian sudah bisa membaca 30 kata permenit yang sebelumnya hanya 5 kata, kalian sudah bisa ini dan itu. Lumayan bisa mengerjakan matematika, sudah membedakan y dan j. Ibu senang sekali."

Aku masih merasa belum puas. Aku tau ibu guru berkata jujur, tapi aku masih belum bisa apa-apa dibandingkan temanku. 

"Ibu ingin kalian ingat satu hal lagi yang paling penting."

Kami duduk lebih tegap, pandang kami tertuju pada sosok yang berdiri di depan kami. Ibu guru menarik napas dalam lalu menghembuskannya pelan. Sepertinya ibu mulai memilih kata-kata yang akan beliau ucapkan agar mudah kami pahami.

"Apapun yang kalian kerjakan lakukanlah dengan senang dan atas kemauan kalian sendiri. Percuma ibu guru di sini, mengajar setiap hari, sampai menjadi sangat cerewet menyuruh ini menyuruh itu, percuma mama-bapak belikan buku dan suruh sekolah setiap hari jika bukan kemauan kalian. Kau datang setiap pagi, berdoa, duduk dan belajar seperti teman, lalu pulang. Begitu seterusnya. Tapi? Apa yang kalian dapatkan? Kalian ingat tidak apa yang kalian pelajari? Ibu yakin tidak."

Ibu guru terdiam. Kami juga, menanti kalimat ibu guru selanjutnya.

"Ibu hanya ingin satu lagi selain kalian selalu datang ke sekolah. Ibu guru ingin kalian belajar karena kalian senang, bukan karena disuruh Ibu guru, takut mama atau takut bapak guru. Ibu guru ingin kalian semua nanti besar menjadi orang lebih baik. Bisa kah?

Cita-cita kalian ini bukan hal yang mustahil, meskipun saat ini kalian belum bisa dikatakan pintar dengan perbandingan umur dan kemampuan kalian. Tapi, ibu guru yakin nantin Kelena akan menjadi Dokter, yang lain juga akan menjadi seperti yang diinginkan. 17 anak-anak ibu dalam kelas ini akan bertemu dengan ibu saat sudah berhasil, lalu bilang 'ibu guru, saya sudah jadi polisi', iyo kan Feras?"

Lagi-lagi aku tak bisa menjawab apa-apa, aku menerawang. Entah mengapa aku merasa sedih, yang terlintas di benakku keprgian ibu guru.

"Feras?"

"Iyo bu guru." Aku tersentak sehingga hanya mengiyakan padahal dalam diriku ada keraguan besar.

"Okey. Ibu guru sudah banyak sekali berbicara. Haus ini. Sekarang kalian boleh tanya. Sama ibu guru boleh, sama teman juga boleh. Kalau tidak ada yang tanya ibu guru yang tanya."

Aku. Aku mau. Tapi rasanya berat sekali mengangkat tangan apalagi membuka mulutku. Irwanlah yang mengangkat tangan dan bertanya.

"Ibu guru nanti harus pulang ya?"

"Memangnya kenapa Irwan tanya itu, tidak papa toh ibu guru pulang. Rumah ibu guru kan tidak di sini."

"Ibu guru boleh tidak saya ikut?" 

Pertanyaan Kelena membuat ibu guru terdiam. Aku juga sebenarnya ingin menanyakan hal yang sama.

"Ehem. Sebenarnya jika boleh dan bisa ibu kalian ikut dan belajar tentang banyak hal, ingin kalian belajar di tempat ibu. Tapi tidak bisa. Bagaimana dengan mama-bapak kalian?"

"Nanti saya bilang mama. Pasti boleh?"

"Jangan. Kalau ibu di suruh bayar denda bagaimana? Ibu tidak bisa."

"Ah, tidak."

"Tapi, tetap saja tidak bisa membawa kalian atau Kelena. Kita berbeda agama. Di tempat ibu guru tidak ada gereja, dan di desa ibu tidak ada yang mengajarkan kalian agama."

Kurasa ibu guru tidak ingin kami ikut dengannya. Kelena terlihat kecewa.

"Ibu guru. Kalau saya sudah lulus SMA boleh ke tempat ibu guru?"

"Boleh, Feras. Makanya dari sekarang kalian rajin belajar ya. Tidak boleh malas sekolah, nanti alpanya banyak tidak naik kelas. Mau nanti umur makin tua lalu badan makin besar tapi satu kelas dengan anak-anak di kelas 4 yang sekarang."

"Tidakkk..." Teman-temanku kini semua bersuara lagi.

Hari ini, ibu guru dan kami hanya fokus mengenai cita-cita. Pelajaran yang ku suka, kelas bebas dan kelas hari ini. Di mana ibu banyak bercerita, kami bisa belajar tidak menggunakan buku. Kami bisa lebih merasa santai dan lebih ramai.

***

Cita-citaku menjadi Polisi. Ibu guru pernah bertanya padaku tentang orang Papua, bertanya benarkah kami tidak menyukai Polisi. Saat itu ku jawab mama-bapakku memang begitu, tapi aku ingin menjadi Polisi. 

Ibu guru pernah bilang pada kami, memang orang satu dan yang lain tidak sama maka kita bisa menjadi apa saja yang kita inginkan, tapi kita belajar agar bisa membedakan yang baik dan tidak. Awal mula ibu berbicara begitu karena aku dan Irwan saling pukul lengan, kami bertengkar karena hal sepele, ibu guru tidak tau, aku dan Irwan bertengkar dan saling mengatai dalam bahasa ibu.

Ibu guru bilang jangan pernah lupakan pelajaran kewarganegaraan yang beliau ajarkan. Tentang negara kita, Indonesia. Lagu kebangsaan, semboyan, dan hal lain yang sangat penting kita pahami sehingga membuat kita lebih beradap. 

Hal yang membuatku bingung tentang ibu guru. Saat dulu Kelena bertanya tentang cita-cita beliau, ibu guru menjawabnya dengan 'menjadi bermanfaat', aku tau sedikit saja tentang maksudnya karena ibu guru memberikan contoh. Saat ini terlalu banyak contoh yang tercatat dalam ingatan dan yang kulihat sendiri, tapi yang seperti apa yang ibu guru inginkan aku tak tau. 20 hari lalu, saat kata cita-cita ibu guru kenalkan padaku, ku kira cita-cita hanya terpatok pada kesuksesan yang dapat diukur seperti sudah menjadi guru atau sudah menjadi camat sesuai keinginan. Ternyata tidak. 

Ketika tadi Kelena betanya lagi pada ibu guru, aku semakin bingung. Ibu guru ternyata tidak tau seperti apa cita-cita sebenarnya, ibu guru menganggap harapannya cita-citanya. Lakukan saja yang terbaik maka akan terwujud apa yang diinginkan. Kalau itu aku mengerti, karena ibu guru selalu bilang 'belajar lagi ya Feras, nanti juga bisa.' padahal jawabanku tak ada yang benar dan hapalanku itu-itu saja.

"Ibu guru?"

"Ah, Wae?"

"Tidak jadi."

"Wae Feras?"

"Saya mau ganti cita-cita boleh?"

"Ha ha ha." Ibu guru dan teman-temanku tertawa. Aku mengunci mulut, mereka menertawakan padahal aku serius.

"Ehem..." Mendengar teguran ibu guru, semua temanku kembali diam.

"Memangnya mau jadi apa lagi Feras?"

"Cita-citaku, mau bertemu ibu guru lagi kalau sudah pulang." Aku mengucapkannya pelan. Aku tak yakin ibu guru mendengarkan dengan betul karena beliau hanya terdiam kini. Teman-temanku menatapku heran.

"Feras? Boleh tapi itu cita-cita nomor 2 yo! Hehe"

Aku menggaruk kepalaku bagian belakang. Lalu membalas senyum ibu guru.

---

Wae : Apa? (Bahasa daerah)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar