Kamis, 06 November 2014

Kebun

Bapak guru (Weki) sedang mengawasi kerja siswa/i

#SM3T
#Sesi.Curcol (23.10.2014)
#SD Inpres Isaima, Wamena -Jayawijaya

Pagi cerah seperti biasa, tapi kabut tak begitu tebal membuatku lebih bersemangat. Mencuci, mandi, sarapan. Pukul 8 kurang 20 menit, aku duduk di ruangan depan sambil menatap ke arah anak-anak yang asik bermain karet di sekitar sekolah. Dari arah kiri jalan, terlihat beberapa anak lain berlari memasuki lingkungan sekolah. Wajahceria mereka, tawa mereka yang keras, sesekali berbahasa ibu (bahasa daerah), berlari sana-sini tanpa alas kaki, tingkah yang membuatku senyum di pagi hari. Meskipun aku tak mengerti bahasa mereka, aku merasa senang saat melihat mereka bercanda. Aku hanya menerka-nerka lewat bahasa tubuh mereka. Ah, pemandangan pagi yang membuatku menyadari sesuatu. Apa itu? Pikirkan sendiri!

Jika biasanya anak-anak sekolah di SD ini masuk kelas tanpa jadwal, bahkan sering jam 10 lalu pulang jam 11. Kini mereka lebih teratur masuk pukul 8. Heran saya, guru-guru itu jarang sekali membunyikan bel.
---
"Okey. Aku duluan ya ibu Nurmi." Senyum Wira lalu berbalik, melangkah santai menuju sekolah.

"Sipp bu... Sebentar aku nyusul." Aku masuk kamar mengambil topi, kamera, hp, dan kaos kaki. Mengunci jendela, menutup gorden lalu mengunci pintu kamar.

Duduk di pintu rumah sambil mengikat tali sepatu. Ku dengar kawanku mulai mengawasi proses olahraga bersama.

1 2 3...8
1 2 3...8

Suara-suara keras itu membuatku semakin semangat.

"Pagi." Sapaku saat melewati 3 bapak guru yang sedang duduk santai di depan kantor.
---
Wira pagi ini terlihat bersemangat dari hari-hari sebelumnya. Mungkin karena hari ini ulang tahun Mamanya. Bisa jadi. Saat dia menatapku memberi kode, aku tersenyum dan mengangkat tangan kanan menunjukan kamera yang ku genggam. Wira paham, aku mempersilahkannya meneruskan semaunya, hari ini aku ingin menghemat suara dan memilih untuk menjadi seksi dokumentasi.

Kegiatan hari ini sama ramainya dengan 7 minggu yang sudah berlalu, yang berbeda ada banyak lelucon yang tercipta. Ibu Wira jadi lebih humoris, selain itu dia memberikan beberapa perintah tak terduga. Anak-anak menjadi tertawa lepas. Oh, aku juga tak bisa menahan tawa. Terlepas dari segala embel-embel canda, olahraga hari ini lebih baik dari biasanya. Tak perduli panas terik, kami bergerak hingga berkeringat, lalu duduk diruput halaman sekolah.

Pukul 8:45. Anak-anak kami bubarkan, mereka mulai berhambur ke kelas masing-masing. Tapi, suara keras teman yang lain memanggil membuat mereka saling berdebat satu sama lain. Ada yang ingin menuruti ada yang ingin tetap ke kelas.

Aku terdiam, berdiri di depan kelas 3 menunggu. Anak-anak itu mulai berbaris di depan kantor. Sebagian murid kelas 5 masih berdiri bingung. Saat mereka menatapku, aku tersenyum lalu bilang 'Gak papa toh. Ibu guru tunggu'. Mereka ikut berbaris. Aku melihat sebentar ke arah mereka, lalu fokus dengan ponselku.

"Kelas 5 dan 6 kembali ke kelas sudah." Suara memerintah itu membuatku sontak menoleh. Ku lihat muridku bingung dan masih di tempat.

"Dengar tidak? Kelas 5 6 kembali ke kelas." Pak guru membentak, aku tak ingin ambil pusing karena setidaknya diam lebih baik, aku melangkah menuju ruangan kelas 5. Ku dengar ia masih terus berbahasa daerah dengan anak-anak itu. Lagi-lagi aku hanya menerka artinya. 'Kasihan anak-anakku' itu yang terpikirkan olehku.
---
Aku masuk ke kelas. Murid-muridku mengekorku. Duduk rapi.
"Paska. Berdoa boleh!"
Mereka mulai berdoa dan mengucapkan selamat pagi padaku. Aku menjawab seperti biasa lalu tersenyum lebih lama menatap ke arah mereka.

"Bapak guru marah?" Tanyaku, tak ada jawaban, mereka hanya menunduk, beberapa sibuk mengeluarkan buku.

"Tresia. Hari ini ibu mau santai. Tak menulis sehari tidak papa toh?" Kalimat tanya yang bertujuan perintah memasukkan kembali buku dimengerti dengan cepat oleh muridku.

"Bapak guru bicara apa? Ibu tidak tau bahasa ibu, jadi dengar juga tidak tau." Aku tak bermaksud membuat mereka malu karena di marahi, tak juga memaksa mereka berbicara. Aku hanya tak tau harus memulai dengan kalimat apa pagi ini. Beberapa detik aku terdiam, mereka masih belum ada yang menjawab.

"Bawa bunga sama batunya?" Tanyaku berpura-pura untuk mengalihkan perhatian mereka. Aku sudah pasti melihat bunga-bunga dan batu-batu besar di atas meja mereka.

"Ada tidak bawa bunga ini bu guru." Mereka kembali bersemangat.

"Tak apa toh kalau tidak bawa bunga tapi masih bawa batu." Semua mengiyakan.
"Yang belum kumpul buku kosong silahkan kumpul di sini." Aku menyentuh ujung kanan mejaku.
"Lalu, bunganya di sini." Lanjutku menyentuh bagian kiri mejaku. Satu persatu mereka maju.

Tok tok

Temanku mengintip di pintu sambil mengetuk. Wira, memanggil keluar dengan isyarat tangan. Tumben, pikirku.
---
"Kenapa neng?" Tanyaku to the point karena ekspresi kecewa di wajahnya.

"Tadi kan itu si bapak Weki pas barisin anak-anak pake bahasa ibu. Nah, si Dorkas (siswa kelas 6) bilang. Kalau bapak Weki gak suka kita buat anak-anak kaya tadi."

"Tadi kayanya mukanya emang lagi serem." Tanggapku bercanda tapi serius.

"Iya. Katanya kita ngabisin waktu sampe jam 9, terus anak-anak gak belajar. Jadinya dia bilang anak-anak itu gak usah belajar sudah."

"Kok gitu sih. Kan sudah dari awal kita buat anak-anak begini, bisanya kita jadi kambing hitam."

"Nah. Iya makanya itu. Tu, lihat anak-anak cuma mainan aja. Gak sadar apa mereka itu, biasanya mereka sengaja lama-lama di kantor, kalau gak kita yang bunyikan bel gak masuk anak-anak. Kalau ngajar juga sebentar aja, terus keluar duduk-duduk sambil ceritaan. Kadang anak-anak dipulangkan cepat. Huh,"

"Mau gimana lagi kita gak bisa maksa sesuatu berubah toh. Dulu kita punya harapan besar karena melihat sifat terbuka mereka. Lah, sekarang kita tau semua belangnya."

"Makanya itu. Susah sekali mereka itu. Maunya banyak tapi kerjanya, ya ampun susahnya."

"Sudahlah biarin aja. Biar aja dia berkembang. Kita lakukan aja tugas kita semampunya."
---
Lima menit percakapan itu, aku membali ke ke dalam kelas. Murid-muridku semua diam, kurasa dia tak mendengarkan apa yang kami bicarakan karena suara kecil kami. Mereka menungguku, jika biasanya mereka sudah mengambil buku dan membaca ketika menunggu, kali ini tidak karena pemberitahuanku di awal tadi tentang kegiatan hari ini.

"Kita tak perlu olahraga tambahan lagi ya. Kita langsung buat taman saja. Paska sama Frans bawa parang?"

Kami keluar kelas, masing-masing bawa batu dan bunga. Rumput di depan kelas dibabat, batu di susun membantuk garis seperti pagar, bunga di tanam, lalu di siram. Di sela-sela kegiatan kawanku datang lagi.

"Ih, bagusnya." Pujinya membuat murid-muridku senang. Lalu pandangannya tertuju ke anak-anak kelas 4 yang membawa papan.

"Sabar neng." Ucapku tiba-tiba mengingatkan. Aku tersenyum.

"Iya. Kasian aja." Tanggapnya, lalu kembali ke kelas 6.

Anak-anak kelas 4 itu membawa papan lebih dari 300meter ke rumah di seberang jalan di depan sekolah. Papan untuk pembangunan sekolah paket, yang menyuruh pak Weki. Ini bukan pertama kalinya anak-anak ini diperlakukan seperti ini. Membawa kayu bakar, menimbah air, ini dan itu. Dan hari sabtu malah di suruh bawa peralatan berkebun. Gagal sudah rencanaku untuk mengajarkan banyak hal di hari sabtu, huh. Selama dua bulan di sini hanya 2 sabtu aku pernah mengajarkan upacar bendera, hanya sekali aku mengajarkan seni budaya.
---
Kebun di belakang sekolah, awalnya akulah yang punya ide. Aku dan anak-anak akan menanam sayuran dan tanaman toga. Jika sayuran di jual kami bisa membeli perlengkapan bersama. Dua minggu kami membersihkan, minggu berikutnya, dia malah mengambil alih. Alasannya mau bantu, lalu jadi bagi wilayah kebun, lalu sekarang terkesan menguasai. Okey, aku lepas tangan. Ambil! Semuanya.

Awal-awal, baik. Baik banget. Bicaranya begini-begitu sederhana dan rendah diri. Ujung-ujungnya kelihatan belangnya. Huh, kesal sih, tapi ya sabar aja sih.

Gak cuma itu. Pernah, kata usir terlontar dari mulutnya. Sore itu, Wira sedang sibuk memasak. Aku tiba-tiba terpikirkan lagi tentang gorden kamar yang transparan. Setuju denganku dan sepakat Wira menyuruhku menukar gorden di ruang tamu. Aku hampir terjatuh ketika suara keras di depan pintu kamar marah-marah. Tanpa bicara banyak aku melewatinya dan memasang kembali sesuai posisi awal. Dia mengekor, berbicara ini itu lebih pelan lalu ingin membantuku memasang. Tapi, aku tak tahan dengan wajah ekting itu.

"Tidak usah pak. Saya saja, bisa! Jika bapak mau kami pergi dari sini. Silahkan laporkan ke kepala sekolah dan dinas pendidikan. Kami siap kok di tari secepatnya." Suaraku pelan dan santai tapi di dalamnya penuh emosi.

"Bukan begitu ibu guru . . . bla bla bla." Berdiri di ujung kursi satunya membenarkan ikatan.

"Kan kami sudah bilang soal gorden minggu lalu bapak!"

"Iya pasang di dalam sudah." Melepas ikatan kembali sambil menatapku

"Tidak usah bapak. Nanti kami bilang kepala sekolah saja atau beli yang baru!" aku tak menoleh sedikitpun. Lalu berterima kasih setelah selesai memasang, kembali ke kamar. Malamnya istrinya, Maria meminta maaf pada kami dan bilang suaminya memang tempramen. Hah? Tetap saja kejadian ini menyadarkan banyak hal dan mengubah sesuatu.

Belakangan, dia bercerita ini itu tentang kami pada masyarakat (menurut cerita muridku). Tapi biar sajalah, aku tak perduli lagi, yang penting aku tak melakukan hal yang merugikan masyarakat di sini. Jika memang ia memanfaatkan keberadaanku dan kawanku di sini, terserah. Jelas kalau tuntutanya terhadap sekolah yang berlebihan tak mungkin terkabulkan. Mustahil guru bantu mendapat gaji sebesar itu, minta 5kali lipat, harusnya dia sadar bahwa dia bukan dari jurusan pendidikan, lama pengabdiannya tak bisa memaksa untuk dijamin pns, sikap irinya yang besar membuatnya buta akan tujuan utama seorang guru.

Harusnya dia bersyukur dibiarkan tinggal di perumahan sekolah, lalu diberi gaji di atas rata-rata. Ya, itulah sulitnya jika ego telah menguasai.

Banyak lagi hal yang membuatnya terlihat semakin menyeramkan, membuatku acuh. Lalu memandang satu arah, mengajar muridku semaksimal mungkin agar mereka tak menjadi sosok itu. Membuat murid-muridku tak takut padanya, membuat muridku tak di manfaatkan lebih lagi. Ah, sepertinya sulit, namun kan ku coba lagi dan lagi


---
FB Nurmie

Tidak ada komentar:

Posting Komentar