Rabu, 10 September 2014

Pelajaran Kecil



Foto : Kamis, 04 September 2014
Halaman sekolah SD INP. ISAIMA

05/09/2014

Hari jumat. Hari ini jadwal seluruh murid belajar agama. Dulu ada suster yang mengajar mereka, jika suster tidak datang ada satu guru tertua di sekolah ini yang menggantikan. Tapi? Pagi ini sudah pukul 7 lewat dan belum ada suara-suara murid berbahasa ibu lalu tertawa di sekitar sekolah.

Aku memakai pakai rapi lalu mengintip dari jendela kamar. Mungkin hari ini mereka tidak masuk, gumamku agar tamanku merespon.

"Hari ini mereka tidak ada yg mengajar." jawabnya.

"Kenapa?" 

"Bapak Wiliem tidak masuk juga tadi pagi beliau titip kunci dengan murid dan menyuruhnya menaikkan bendera." 

Mendengar itu samangatku kendor. Terlebih kemarin kepsek sudah tidak masuk dan menurut informasi dari guru, kepsek hanya datang sampai hari kamis. Keajaiban jika datang hari ini.

Pukul 7.45 pagi, aku memakai topi dinasku serta sepatu putih favoritku sambil tersenyum, melangkah pasti menuju sekolah.

"Selamat pagi."

"Pagi ibu guru." jawab beberapa siswa itu tersipu-sipu.

Aku memasuki ruang kantor, yang menurutku sangat butuh penyusunan ulang letak-letak meja ataupun hal lain yang ada di dalam ruangan sempit itu.

"Sepertinya hanya kita berdua yang mengajar hari ini?!" Tanyaku sambil membuka gorden yang mulai sobek termakan usia.

"Iya. Mau bagaimana lagi..." Jawab kawanku kecewa dan pasrah.



***
Aku memukul bel sekolah. Temanku menggantikan karena menurutnya kurang keras. Aku meraih kunci-kunci di atas meja lalu berjalan ke pintu-pintu, membuka.

Murid-murid berbaris di depan ruang kelas enam. Aku melirik sekejap memastikan seberapa banyak mereka. Sedikit. Anak kelas 2 hanya 2 orang saja, kelas lain juga hanya separuh dari biasanya. 

"Sementara ibu Nurmi membuka seluruh kelas, ayo baris rapi. Ketua kelas enam maju." kawanku mengarahkan mereka. Aku tersenyum dari jauh. Kegiatan rutin itu sudah menjadi yang ke empat tapi masih saja kurang. Berkali-kali kata siap dan luruskan diucap masih saja belum rapi.

"Ulangi. Ibu guru sudah bilang toh? Kalau temannya memimpin dengarkan baik-baik. Yang memimpin bagaimana sikap?"

Ku dengar dari kejauhan, volume suara kawanku lebih dari biasanya.

"Pemimpin itu jadi contoh. Jadi suara harus keras toh? Harus lihat teman yang lain. Jika belum lurus jangan siapkan. Kalau masih ada yang berbicara tegur, sebut nama. Bisa toh?" Ia mulai berbicara banyak, murid-murid belum disiapkan.

"Ayo dicek temannya. Kalau ditegur berkali-kali tidak berubah. Datangi."

Langkah kaki hitam berlumpur tanpa sepatu itu menuju barisan dan mengatur satu persatu anak kelas 1 dan 2.

Aku mendekati kawanku, berjalan pelan tak bersuara apa lagi berani berpendapat.

"Iya begitu. Yang lain bisa toh atur diri sendiri?" sambungnya.



***
Barisan sudah disiapkan lalu diistirahatkan.

"Cape?" Tanyaku.

"Iyo ibu." 

"Kalau cape harus baris bagus toh biar ibu guru tidak lama suruh berdiri. Paham?"

"Paham ibu."

"Setuju?"

"Iyo. Setuju."

"Semangat!"

"SEMANGAT" jawab mereka serentak dan mengepalkan tangan kanan ke atas.

Aku memberi kode pada kawanku yang baru kembali dari ruangan kantor untuk meneruskan.



***
Aku merekam dari belakang kegiatan itu. Kawanku sepertinya lebih lembut sekarang. Ku dengar ia memberikan nasehat-nasehat penting, sesekali bernyanyi untuk menyindir mereka yang malu-malu.
"Pemberani tidak boleh menunduk... 
Pemberani tidak malu-malu. Pemberani..."

Aku keluar pagar sekolah, melihat ke arah jalan dari kota, tak ada murid yang datang. Kemudian arah lain, ku lihat 2 bapak guru yang berjalan tak jauh dari sekolah. Jauh di belakangnya banyak murid-murid berlarian agar lebih cepat sampai. Senyumku mengembang. Setidaknya mereka masih ingin bersekolah. 

"Ayo cepat. Sudah lewat jam delapan." Teriakku lalu masuk untuk menanti mereka.



***
"Eh, yang terlambat barisnya di sana." ucap temanku menunjuk sisi lapangan di depanku. Yang terlambat kembali berhambur dari barisan dan menujuku. Aku tersenyum seolah memberi isyarat bahwa aku tidak akan menghukum mereka, jadi mereka tak perlu takut.

"Baris seperti biasa yo" Beberapa detik setelah perintahku, 2 anak kelas satu langsung mengambil posisi. Yang lain sedikit lambat.

"Bagus." Ucapku menunjukan jempol pada dua murid mungil itu.

"Ayo yang lain masa kalah sama adiknya. Malu toh?"

"Frans. Boleh pimpin? Murid kelas limaku itu langsung maju. Ia melakukan tugas dengan baik.

"Tidak usah menoleh, lihat kedepan. Sikap siap toh? Lihat Frans. Bukan temannya yang berbaris di sana."

Mereka mengikuti perintah.

"Jauh rumah kan? Atau bantu mama dulu? Jadi hari ini masih terlambat?"

"Jauh ibu."

"Ibu tidak marah kalian terlambat, tapi tidak senang juga kalian terlambat. Boleh besok- besok tidak terlambat?"

"Iyo."

Jawaban mereka membuatku terdiam. Menunggu kawan yang masih menanti kesempurnaan barisan di hadapannya.

"Ibu tidak akan suruh turunkan tangan kalau masih ada suara apa lagi garuk kepala."



***
Setelah barisan digabungkan dan dalam posisi istirahat. Aku membuka dengan semangat.

"Selamat pagi..."

"Pagi ibu guuru"

"Kurang keras. Selamat pagi semua..."

"PAGI IBU GURUU."

"Bagus. Pagi-pagi harus semangat toh? Tepuk tangan dulu untuk kalian. Ibu guru tidak marah toh? Ibu guru hanya ingin kalian disiplin, perduli dengan teman. Jangan kira ibu marah ya!"

"Iyo."

"Bagus toh kalau rapi? Terus, teman sudah bagus baris tapi yang lain masih ribut dan goyang sana-goyang sini. Kasihan toh temannya? Satu salah semua kena. Besok-besok baris bagus yo." Mereka mengiyakan. 

"Ibu Wira mau tambahkan?"

"Apa kabar?" Teriak kawanku semangat.

"Luar biasa." Teriak semangat murid membalas dan mengacungkan kedua jempolnya.

Kawanku mulai berbicara ini dan itu membuat murid-murid itu lebih ceria lagi. Yel2 dan lagu serta gerakannya kami lakukan bersama-sama. 

Doa bersama sebelum kegiatan bersih-bersih dimulai. Aku mendapat tanggung jawab mengawasi, memandu siswa kelas 3 dan 4 membersihkan ruangan. Luar biasa mereka siswa yang aktif dan menyenangkan.

Seluruh sisi disapu termaksud pelapon dan dinding yang mulai banyak sarang laba-laba. Bangku disusun ulang dan foto presiden serta wakilnya dilap bersih. Burung garuda bahkan dibersihkan dengan air. Begitu juga dengan papan tulis yang menggunakann kapur, harus menggunkan kain basah.

Tidak hanya dalam ruangan, sampah-sampah di sekitar sekolah dipunguti dan dikumpulkan menjadi satu dan akan dibakar saat pulang sekolah.


***
Paling menggemaskan saat membantu siswa kelas satu membersihkan kelas. Bayangan mereka yang mengambil rumput di sekitar sekolah untuk menyapu kelas. Aku tersenyum kaget melihat itu.

"Halo."

"Ibu guru." ucapnya lalu berlari masuk kelas.

"Sudah bersih?" ucapku pura-pura bertanya karena kelas malah penuh rumput.

"Bapak guru mana?"

"Di sebelah." rupanya beliau mengawasi kelas 2 lebih dulu. Aku meminta izin mengambil alih kelas 1. 

"Tidak ada sapu?" bukannya menjawab mereka malah berlari keluar dan membuang sapu rumput mereka lalu kembali masuk.

"Ibu guru boleh ambil sapu dulu?"

"Iyo."

Kembali dengan 3 sapu di tangan. Mereka berlomba ingin menggunakan. Mereka berdiri mengelilingiku dan mendongak dengan harap diberi. Ku berikan yang ku anggap mampu, ternyata mereka bertengkar.

"Hallo." ucapku di tengah-tengah ruangan sambil tepuk tangan agar dapat perhatian.

"Yang pegang sapu menyapu. Yang lain bantu ibu angkat meja kursi. Bisa?"

Mereka langsung bergerak kecap. Aku yakin mampu mengangakat hanya berdua. Tapi ingin hal lain.

"Berhenti." mereka menatapku heran. Aku tersenyum.

"Angkatnya berempat biar lebih ringan dan harus kompak jalannya. Boleh?" mereka hanya tersenyum malu-malu. Rasanya ingin tertawa puas saat melihat kelas rapi dari biasanya.

"Ayo. Duduk dulu." Mereka mulai mengambil posisi.

"Ini kenapa duduk bertiga?" Tidak ada jawaban hanya ada cengir-cengir dan mata-mata coklat menatapku.

"Boleh pindah satu?" Mereka saling tatap.

"Masih ada toh kursi kosong. Masih ada juga teman duduk sendiri. Boleh pindah?" yang lain menjawab iya namun ketiga snak itu tidak. Bagusnya meski tak menjawab, satu orang berdiri dan pindah ke sebelah.

"Nah. Pintar. Ayo tepuk tangan untuk temannya."

"Ada yang masih ingat lagu kemarin?" Semua bungkam.

Aku menaikkan 3 jariku kedepan.

"3" sebut mereka serentak. Ku lanjutkan untuk mempermainkan jari-jari menguji kemampuan menghitung mereka. Luar bisa menghitung sampai 10. Semua benar meskipun ku acak angkanya. Selanjutnya aku ingin mereka bernyanyi. 

"Satu satu saya sayang Mama... Dst" Aku mulai bernyanyi diikuti mereka. Yang membuat gemas lagi mereka mengikuti gerakkan yang ku ajarkan.

"Sekali lagi. Setelah itu foto bersama dan kita kumpul di lapangan sama kakak-kakak yang lain."

Suara mereka makin keras dan saat berfoto mereka senyum manis. Bulu mata lentik itu menggodaku. Aku suka sekali. Hahaha.


***
Mereka semua duduk melingkar, sesekali berdiri. Kami melakukan beberapa permainan. Menyanyikan beberapa lagu agar lebih semangat. Dan sebelum pulang aku bergantian dengan teman. 

Kawanku memandu mereka menyanyikan lagu-lagu keagamaan mereka. Aku menjauh sedikit, ku lihat bapak Wiliem duduk di kursi depan kantor ikut bertepuk-tepuk tangan sama dengan murid-murid. Aku tersenyum menyaksikan itu.

Sebelum pulang mereka berdoa. Aku masih berdiri 5 meter dari mereka berdoa dengan caraku sendiri.

"Amiin." semua Siswa berdiri. Kawanku mengarahkannya keluar pagar dengan berbaris rapi.

-------
Pelajaran kecil yang begitu berarti. Kami ingin mereka menjadi generasi penerus bangsa yang kuat, gigih, disiplin, serta berwawasan luas tanpa merasa berbeda.

Pelajaran kecil untuk perubahan besar. 

".... Tunggulah wahai negeriku. Baktiku padaku." Begitu lirik lagu yang sering kami nyanyikan dan siap membagun tembok janji dalam hati kami. Pendidik generasi bangsa, duta pendidikan nasional.


---
FB Nurmie

Tidak ada komentar:

Posting Komentar